Review Novel "Perempuan di Titik Nol"

Review Novel "Perempuan di Titik Nol"

 


Judul : Perempuan di Titik Nol

Penulis : Nawal el-Saadawi

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tahun Terbit : 1989

Ketebalan : 176 halaman

ISBN :  978-602-433-438-3


BLURB


Dari balik sel penjara, Firdaus -- yang dijatuhi hukum gantung karena telah membunuh seorang germo -- menceritakan liku-liku kehidupannya. Dari sejak masa kecilnya di desa, hingga ia menjadi seorang pelacur kelas atas di Kota Kairo. Ia menerima dengan gembira hukuman gantung itu. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut Firdaus, putusan hakim itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Ironis.


Lewat pelacur ini, kita justru dapat menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi kaum lelaki. Sebuah kritik sosial yang sangat pedas!


Novel ini didasari pada kisah nyata. Ditulis oleh Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir dengan reputasi Internasional.


-


Perempuan di Titik Nol mengungkapkan secara jujur dan terang-terangan tentang ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan yang sering kali dialami oleh perempuan dalam berbagai bentuk. Melalui kisah seorang perempuan bernama Firdaus, pembaca dihadapkan pada realitas yang pahit dan tak terelakkan dari opresi yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki.


Salah satu aspek yang menonjol dari novel ini adalah keberanian dalam menghadapi topik-topik yang tabu dan sensitif. El Saadawi tidak ragu untuk mengeksplorasi isu-isu seperti mutilasi genital perempuan, prostitusi, dan pemerkosaan dengan cara yang tanpa kompromi. Hal ini membuat pembaca terdorong untuk melakukan introspeksi mendalam tentang struktur sosial dan budaya yang memungkinkan penindasan terhadap perempuan terjadi.


Melalui karakter Firdaus, pembaca dapat melihat kekuatan dan ketabahan perempuan yang bertahan melawan sistem yang menindas. Ini adalah sebuah pengingat yang kuat tentang pentingnya perlawanan dan solidaritas dalam menghadapi ketidakadilan.


Dengan gaya penulisan yang lugas dan memikat, pembaca disuguhkan dengan narasi yang kuat dan menggugah perasaan. Deskripsi yang tajam dan gambaran hidup dari kehidupan sehari-hari perempuan Mesir menjadikan pengalaman membaca buku ini sangat mendalam dan mengesankan. Meskipun begitu, sering kali bisa kita temukan kalimat-kalimat yang menggunakan bahasa berat, mungkin karena merupakan novel terjemahan. Inti dari novel ini merupakan cerita pengalaman dari Firdaus kepada seorang dokter.


Secara keseluruhan, "Perempuan di Titik Nol" adalah sebuah karya yang penting dan berani menggambarkan kekuatan dan ketabahan perempuan dalam menghadapi budaya patriarki yang membatasi. Buku ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi pembaca untuk berpikir kritis dan lebih dalam tentang isu-isu kesetaraan gender serta untuk mengambil tindakan untuk menciptakan dunia yang lebih adil bagi semua individu.


"Ketika saya menjadi pelacur saya tidak pernah memberikan sesuatu dengan cuma-cuma, tetapi selalu mengambil sesuatu sebagai imbalannya. Tetapi di dalam cinta saya berikan tubuh dan jiwa saya, pikiran dan segala upaya yang dapat saya kumpulkan, dengan cuma-cuma". Hal 140.


"Lelaki yang paling saya benci ialah mereka yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya bahwa mereka ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani." Hal 146.


Review Novel "Teruslah Bodoh Jangan Pintar"

Review Novel "Teruslah Bodoh Jangan Pintar"


 Judul : Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Penulis : Tere Liye

Penerbit : Penerbit Sabakgrip

Tahun Terbit : 2024

Ketebalan : 373 halaman

ISBN :  978-623-888-220-5


BLURB


Saat hukum dan kekuasaan dipegang oleh serigala-serigala buas berbulu domba, saat seluruh segeri dikangkangi orang-orang jualan sok sedeharna tapi sejatinya serakah. Apakah kalian akan tutup mata, tutup mulut, tidak peduli dengan apa yang terjadi? Atau kalian akan mengepalkan tangan ke udara, LAWAN!

---

Novel ini menceritakan tentang isu-isu yang terjadi seperti kerusakan lingkungan, ketidakadilan dalam sistem hukum yang cenderung melindungi orang-orang berduit, penggusuran kampung-kampung warga lokal, dan sebagainya menjadi perhatian yang mendesak. Terjadi ketidakseimbangan dalam perlindungan hukum yang tampaknya lebih tajam bagi golongan berkecukupan, sementara keadilan bagi masyarakat luas terabaikan. Hal ini juga tercermin dalam penggusuran tanah-tanah warga lokal untuk kepentingan proyek-proyek besar yang lebih menguntungkan pihak tertentu.


Dalam buku ini, terdapat konflik yang timbul ketika para aktivis lingkungan berupaya untuk membatalkan izin operasi perusahaan tambang yang telah lama mencemari beberapa pemukiman warga lokal dan lingkungan sekitarnya akibat kegiatan pertambangan dari PT Semesta Mineral & Mining.


Buku ini mengambil lokasi utamanya adalah ruang sidang berukuran 3x6. Novel ini memiliki alur cerita yang maju dan mundur. Penelitian yang dilakukan Tere Liye dalam novel ini kurasa sangat mendalam. Pembahasannyapun bukan cuman sekadar isu-isu aja melainkan ditambah dengan contoh studi kasus dalam perpajakan. Sadar gak sadar Tere Liye membuat pembacanya harus peka dengan apa yang terjadi 


Novel yang tidak ada sama sekali sentuhan romance semakin membuat novel ini jadi berat. Problematika yang dianbgkat adalah apa yang saat ini (bisa jadi) terjadi di negara kita. Hal ini karena semua topik yang dibahas dalam novel serius dan nyata. Bahkan sering kali aku merasa dejavu.


Tere Liye dengan ciri khasnya dalam menulis, pasti dan selalu membuat akhir yang gemes. Saking gemesnya aku merasa "arrghhh", "hhmm". 


Buku ini aku rekomendasikan bagi semua orang yang tinggal di Indonesia, negara yang kaya akan keberagaman ini.


"Tidak murah harga sebuah perlawanan, dan semakin bertambah-tambah ketika dia tiba di lahannya." Hal 201.


"Aku tidak pernah bisa memahami cara berpikir adikku, Yang Mulia. Dia keras kepala. Memilih masuk penjara dibanding mendapat uang." Hal 204


"Ketika prajurit di lapangan hidup seadanya, makan jatah ransum, ada jenderalnya yang memiliki aset ratusan miliar saat pensiun. mengherankan--" Hal 279.

Review Film “Ngeri-Ngeri Sedap”

Review Film “Ngeri-Ngeri Sedap”



Judul Film: Agak laen

Sutradara: Muhadkly Acho

Produser: Ernest Prakasa serta Dipa Andika 

Pemeran Utama dan Pendukung: Bene Dion, Boris Bokir, Indra Jegel, Oki Rengga, Arie Kriting, Praz Teguh, Mamat Alkatiri, Indah Permatasari, Tissa Biani, Anggi Marito, Ardit Erwanda, Aci Resti, dan beberapa komika pendukung lainnya.

Genre: Horor, Komedi

Tahun : 2024


Bene, Boris, Jegel, dan Oki, adalah empat sekawan yang berekonomi rendah mendirikan wahana rumah hantu di pasar malam. Namun, ketika mereka menyadari bahwa rumah hantu tersebut kurang menyeramkan terlebih semakin lama semakin sepi pengunjung, mereka memutuskan untuk melakukan renovasi dan mengubah konsepnya. Setelah proses renovasi, rumah hantu itu berubah menjadi lebih menakutkan daripada sebelumnya.


Film Agak Laen ini memberikan warna yang agak laen pula pada filmnya. Horor komedi yang sama sekali tidak ada horor-horonya. Penonton dibikin ketawa terus sepanjang film. Karakter-karakter dalam film Agak Laen ini cenderung memiliki sifat-sifat yang kuat dan anti mainstream. Hal ini tentunya menciptakan situasi lucu saat mereka berinteraksi dengan elemen-elemen horor.


Bukan hanya visual yang lucu, film ini cenderung memiliki dialog-dialog lucu yang dirancang untuk membuat penonton tertawa bahkan dalam situasi yang menegangkan, dramatis, dan emosional.


Rate: 5/5

Pasukan bermarga wajib nonton film ini. Mulai 1 Februari 2024 di bioskop!!!!


Review Novel "Pulang"

Review Novel "Pulang"

 

Judul : Pulang

Penulis : Leila S. Chudori

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia 

Tahun Terbit : 2012

Ketebalan : 461 halaman

ISBN :  978-979-91-0515-8


BLURB


Novel Pulang adalah kisah dua generasi—Dimas Suryo dan putrinya, Lintang Utara—yang bersama-sama menetap di Paris, Prancis. Seperti ribuan warga Indonesia lain yang terjebak di berbagai negara dengan status stateless, keluarga Dimas Suryo tak pernah bisa pulang ke Indonesia karena paspor mereka dicabut dan kehidupan mereka terancam. 


Pada tahun 1998, Lintang Utara akhirnya berhasil menyentuh tanah air. Dia datang untuk mereka pengalaman keluarga korban Tragedi 1965 sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa yang terkuak oleh Lintang bukan sekadar masa lalu ayahnya, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di Indonesia berkaitan dengan Dimas Suryo dan kawan-kawannya. 


Pulang adalah novel pertama dalam trilogi kisah 1965, yang bercerita tentang drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.


----


"Novel Pulang" adalah karya yang berhasil menggabungkan peristiwa sejarah 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998 dengan cerita keluarga yang menggugah hati. Dalam kisah ini, penulisnya, Leila S. Chudori, secara magis menyoroti dampak yang merajalela dari peristiwa bersejarah ini pada kehidupan sehari-hari keluarga protagonis.


Penulis mengambil pendekatan yang sangat menarik dengan menggambarkan peristiwa sejarah dari POV berbagai tokoh yang heterogen. Cerita ini memperlihatkan bagaimana setiap individu mengalami dan menafsirkan peristiwa sejarah yang memengaruhi Indonesia, khususnya tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Saking banyaknya POV, pembaca harus mencermati dengan sebaik-baiknya. Melalui POV masing-masing tokoh juga, pembaca dapat melihat bagaimana peristiwa bersejarah memengaruhi kehidupan pribadi dan hubungan antartokoh. Alur ceritanya maju-mundur sehingga pembaca disuruh mengumpulkan kejadian per kejadian agar jadi satu cerita yang menarik dan luar biasa.


Setiap tokoh mengalami perjalanan emosional yang mendalam. Di dalam novel ini, krisis sejarah merubah dinamika hubungan dalam keluarga. Ada yang mungkin menjadi lebih dekat karena bersama-sama menghadapi tantangan, sementara yang lain bisa mengalami distansi karena perbedaan pendapat atau pandangan politik.


Penulis memberikan gambaran yang autentik dan terperinci tentang suasana dan kehidupan masyarakat pada masa-masa tersebut. Bahkan aku bisa merasakan ketegangan yang diceritakan pada kerisuhan Mei 98, terasa dekat, selain karena penyebutan lokasi nyatanya emang sedekat itu dengan posisiku sekarang, penulis berhasil membuat pembaca dapat membayangkan dengan jelas dan meresapi atmosfer cerita. Ah dasar! Aku terlalu masuk dalam cerita sehingga kadang tidak menyadari bahwa novel ini adalah kisah fiksi tapi menggunakan latar belakang di masa-masa suram itu.


Novel ini hanya aku rekomendasikan untuk dewasa, walaupun novel ini berlatar belakang sejarah Indonesia tetapi cukup banyak mengandung adegan dewasa, yihaaa!

"Dia selalu mempelajari bahwa Indonesia adalah negara sedang berkembang yang terjerat begitu banyak utang, tetapi sekian persen di pucuk atas piramida penduduknya berbelanja tas dan sepatu Louis Vuitton di Paris" Hal 355.

"Masyarakat Indonesia gampang panas dan gampang diperintah dalam situasi panas" Hal 304.

"Pemilik sejarah adalah para perenggut kekuasaan dan kelas menengah yang haus harta dan  tak keberatan duduk reriungan mesra berasama penguasa". Hal 288.

"Malah aneh melarang buku kajian komunisme di Indonesia. karena itu menganggap masyarakat kita bodoh dan tak bisa menggunakan otaknya. Puluhan tahun masyarakat kita dianggap tolol, tak bisa vberpikir sendiri" Hal 265.
Review Novel "Waktu untuk Tidak Menikah"

Review Novel "Waktu untuk Tidak Menikah"

 

Judul : Waktu untuk Tidak Menikah

Penulis : Amanatia Junda

Penerbit : Mojok

Tahun Terbit : 2018

Ketebalan : 178 halaman

ISBN : 978-602-1318-76-8


Kumpulan cerpen Waktu untuk Tidak Menikah karya Amanatia Junda ini terdiri dari 14 cerpen dengan tokoh utama perempuan dari berbagai latar belakang dan usia. Ditulis dalam rentang waktu 2012-2017 dan disusun secara acak dalam daftar isi.


Beberapa cerpen telah dimuat di beberapa media baik media online maupun media cetak. Benang merah dalam cerpen selain bercerita tentang perempuan, lebih banyak mengajak pembaca menyelami isi kepala tokoh-tokoh yang terkadang random dan melantur dengan ingatan mereka mengenai perkara-perkara personal di masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik, atau sesuatu yang tak pernah mereka ungkap di permukaan sebelumnya.


Isu-isu yang menjadi konteks sosial beberapa cerita di sini juga beragam, seperti perkosaan, kebakaran hutan, korupsi, perempuan tua jalanan, relasi sepasang kekasih, sepasang kakek nenek, sepasang teman perempuan, sepasang ibu anak, dll.


--


Waktu Untuk Tidak Menikah adalah sebuah cerita pendek pandangan dari seorang perempuan tentang keputusan untuk tidak menikah pada suatu waktu tertentu dalam hidupnya.


Seiring berjalannya waktu, banyak dari perempuan ditempa oleh ekspektasi sosial, khususnya seputar kehidupan pernikahan. Tetapi, sebagai seorang perempuan, tentu akan menemukan kebebasan dan kebahagiaan dalam memilih waktu yang tepat untuk tidak menikah. Cerita ini adalah suara perempuan yang memilih menjalani hidupnya dengan jalan  berbeda, terlebih setelah ia mendapati kabar dari temannya dan juga mantan kekasihnya yang telah menikah.


Nursri bukan satu-satunya. Di belahan bumi lain, ada yang tersungkur patah hati ditinggal kekasih. Ada yang kehilangan banyak hal dalam waktu yang berdekatan. Ada yang memilih hidup sendirian bersama kedua kucing liar. Ada yang tiba-tiba ingin menghubungi mantan kekasihnya. Ada yang mencintai diam-diam dan berakhir ditolak mentah-mentah. Ada yang tak siap berpisah, sekalipun sudah menabung kesiapan itu. Bahkan ada yang menikah, lalu ingin berpisah. Kadang-kadang, memang selalu ada waktu untuk tidak berkasih. Untuk tidak bercinta, untuk tidak menikah. Lagi pula, kisah cinta yang melulu indah itu kata siapa?


Buku ini memberikan sudut pandang yang berbeda dari yang namanya cinta. Cara pandang mengenai cinta selalu berkaitan dengan bahagia yang selama ini seringkali disamakan dengan alur cerita dalam dongeng atau acara hiburan televisi. Tetapi sebenarnya, kebahagiaan tidak selalu memiliki definisi yang sama untuk setiap orang.


Aku akui dalam menerima pesan dari setiap tulisan dalam buku ini harus konsentrasi, baca dengan kesungguhan dan keterbukaan pikiran. Jujur saja menurutku dengan tidak adanya tanda keberpindahan alur membuatku harus mengulang-ulang bacaan. Di beberapa cerita terdapat tanda pindah alur cerita, namun di beberapa lainnya tidak ada, yang dalam hal ini tentu dapat membuat pembaca agak kebingungan.


Gaya menulisnya memgbingatkanku pada buku-buku terbitan Mojok dan benar saja aku baru ngeh ketika hampir di halaman terakhir, "Ah iya, buku ini terbitan Mojok" hahaha.



"...perempuan itu ibarat mangga. kalau masih muda, kecut puol! tapi, masih enak, kan, dibuat manisan? Atau dirujak? Diolah macam-macam bisa, tinggal ditaburi gula. kalau sudah tua? Pelem kematengannya, ya, nggak enak. Mblenyek. Mblenek. Apalagi bekas dimakan codot, jatuh di jalan, nggak ada yang mau mungut, paling banter digilas sama sepeda motor yang lewat. Awas jadi perawan tua loh, kamu, Sri!" Hal 80.