#NisaPeCiritaMondalengo; SOLO-JOGJA-BEKASI II Karanganyar Membunuhku

"Bagaimana kau akan tahu pengalamanku, padahal kau tak mengenalku? Bagaimana kita akan tahu bahwa kita punya pengalaman yang sama? INILAH ALASANKU MENULIS."

                                                                                                                            Salam, 
Viryanisa_

Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah.

Hari pertamaku di Solo..

NisaPeCiritaMondalengo; Berhubung sekamar ada 9 orang, jadinya untuk menggunakan toilet harus bergantian. Kamarku punya dua pintu, pintu depan yang menghubungkan ke arah lorong dalam gedung dan pintu belakang yang langsung menghadap kehamparan sawah yang menghijau.
Merasa nyawa sudah terkumpul, aku beranjak dari kasur menuju pintu kamar bagian belakang. Ku nikmati  udara pagi segar dengan meregangkan tanganku ke atas. Dengan sadar senyum tersungging dari mulutku ketika terjadi saling tatap antara aku dan ibu-ibu yang sedang menjenguk tanamannya. Bahagianya aku merasakan udara yang sesegar ini, tentu saja berbeda jauh ketika di rumah. Udara perkotaan yang menyesakkan. Baru saja ingin memuji daerah yang ku datangi ini, terdengar ribut-ribut dari dalam kamar mbak-mbak sekamarku pada bilang “ Air abis.” “Air mati.” “Ngga ada air.” “Tandon kosong”. Dalam hati “Lah trus?.” Aku sih cuek aja karena aku masih punya air minum sebotol untuk sikat gigi dan cuci muka, mandi? Ntar aja lah ya wkwk. 

Pemandangan di luar kamar

Kata panitia jam 8 kegiatan akan dimulai, aku pun sama dengan yang lain ikut bersiap-siap. Namun bedanya mereka sibuk kesana kemari mencari toilet untuk mandi, sedangkan aku bermodalkan sebotol air untuk cuci muka dan sikat gigi serta deodorant dan parfum. Kalian jijik? Eh itu terserah kalian, buktinya selama di sana aku tak mengeluarkan bau-bau yang tak sedap, dan yang lebih penting aku tak sendiri, karena udara di sana menurutku dingin terus alhasil selama 3 hari di sana aku memilih untuk tidak mandi HAHAHAHA. Eh kecuali sebelum pulang sih. Ntar lah aku akan bercerita tentang urusan mandi dan mba-mba sekamarku.


Dari Gorontalo yang menghadiri kongres hanya 4 orang, Faisal, Guslan, Cakra dan aku. Aku sendiri perempuan makanya setiap waktunya makan, waktunya kegiatan atau apapun itu aku bergabung dengan mereka dan 2 orang teman baruku yang berasal dari Lebak, Banten. Jujur saja selain mereka aku tak punya teman akrab, walaupun ada beberapa teman yang hanya saling sapa. Di kamar pun begitu, aku merasa jadi orang asing wkwkw. Bagaimana tidak? Penghuni kamar berjumlah 9 orang, 2 orang dari Surabaya, 2 orang dari Malang, 2 orang dari Jogja,2 orang lagi ku tak tahu dari Jawa bagian mana dan 1 orang dari Gorontalo. Nice, terlihat jelas bukan kenapa aku merasa orang asing? Semuanya berasal dari Jawa, semuanya berpasang-pasangan pula. Dan aku? Hahaha udahlah ya lupain kelucuan ini :v

Ada beberapa hal yang ku pelajari dan ku pikir yang berbeda. Pertama, setelah ku amati teman-teman sekamarku yang semuanya berasal dari Jawa (bahkan medoknya kental banget), tidak mau atau tidak ngeh ketika aku memanggil mereka dengan sebutan ‘Kak’. Hal ini berbeda dengan kebiasaanku di Gorontalo yang saling sapa dengan sebutan ‘Kak’. Pernah disatu kesempatan aku menanyakan ke mereka “Kak, kegiatan nanti dimulai jam berapa ya?” Padahal kamar dalam keadaan hening namun tak ada satu pun yang menjawab, ada yang sempat melirik ke arahku namun memalingkan wajahnya kembali. Seketika aku ngerasa sedang ngobrol dengan jangkrik, krik krik krik.

Selang beberapa detik ada dari mereka yang bertanya ke yang lain (tak jelas dia bertanya apa,  namun kata yang bisa ku terima dengan jelas adalah kata MBAK), mereka yang tahu mencoba menjawab pertanyaan dari si penanya tadi. Pikirku aku memang harus menggunakan kata ‘mbak’, ku cobalah untuk bertanya “Mbak, sebentar mulai jam berapa ya?” seketika semuanya berebutan menjawab “Ba’da Dzuhur mbak” “Jam 1 mungkin mbak” “Kata panitia selesai ISHOMA mbak” dll. NICE!!!
Bisakah kalian membayangkan smile devil? Mungkin itulah eksperesiku saat itu.

Kedua, aku ngerasa buat mereka adalah hal yang biasa ketika mereka sedang sholat tapi di depan mereka ada yang sedang tidur, posisinya sama seperti saat kalian sedang sholat jenazah tapi kalian masih bisa sujud. Kalo soal yang satu ini aku sering dibuat kesel. Kebetulan aku menempati kasur yang paling ujung dan paling dekat tempat sholat. Di lingkunganku kalo mau sholat berusaha sebisa mungkin di depannya tidak ada orang (bukan shaf ya) apalagi orang yang sedang tidur. Artinya kaya seperti sedang mendoakan orang yang di depannya. Nah buat teman-teman sekamarku hal itu kayak sudah lumrah dan aku pun sering menjadi korban dari hal-hal seperti itu. Tau-tau pas bangun ada yang berpakaian serba putih, tangannya bersedekap, mulutnya komat-kamit, bahkan tak jarang ada yang menatap mataku. Shit. Pertanyaanku dan yang selalu aku utarakan ke mereka adalah “kenapa tak membangunkanku dulu atau ga hanya sekadar bilang kalo mereka mau sholat.” Bukan soal apa maupun kenapa, takutnya kan saat mereka sholat kaki atau tanganku tidak sengaja menarik mukena mereka atau hal-hal lainnya yang bisa mengganggu kekhusyukan mereka sholat. Tapi tetap saja, sampai hari terakhir aku tetap menjadi jenazahnya mereka -_-.

Ketiga, over kepo. Oh My God. Ya gapapa sih ya kalo bertanya tentang aku atau peduli, tapi ini kedengerannya malah kayak mengurusi urusan pribadiku. Salah satu contoh kecilnya ketika aku baru selesai mandi dengan rambut yang dikeramas, satu-satu dari mereka bertanya “Mbak udah mandi? Mandi di mana mbak? Pake kamar mandi yang mana?” “itu beneran keramas mbak? Pake sampo apa mbak?” “Pagi bener mbak mandinya, katanya dingin” “Mbak kopernya isi apa sampe bawa koper sama tas?” “Mbak jomlo gak?” “Mbak di kubu bumi datar atau bumi bulat?” eh Hmmm. Ah syudahlah, lupakan saja. Toh ga ada yang aku ingat nama mereka.





Hari pertama aku berkenalan dengan seorang gadis remaja yang –kalo orang Manado-Gorontalo bilang –babadontot, namanya Ika lebih jelasnya Ika Ervina. Ika bersama teman dekatnya berasal dari Lebak, Banten. Sama denganku, Ika pun ketua di organisasinya. 1st impressionku saat ketemu Ika adalah orangnya cuek bahkan lebih keistilah bodo amat. Aku merasa nyambung dan punya banyak kesamaan sama dia (selain babadontot ya-_-), selain cuek Ika itu orangnya berani,  garing-garing lucu apalagi kalo udah mulai belajar ngomong pake bahasa Gorontalo (diajarin si Guslan sama Faisal), dijamin bikin ngakak. Ika juga suka sastra, dia sering buat puisi yang puitis. Suka kopi, suka jalan-jalan (apalagi sama partnernya si fakhri), suka makan dan kesamaan terakhirnya adalah si Ika juga selama di kegiatan GAK PERNAH MANDI WKWKWK (Mungkin pernah tapi sekali doang hahaha).

Selfie with Ika Ervina

Dari Ika ini aku jadi berani gak ikut kegiatan, berani bolos, bahkan berani untuk kabur, eh. Ya paling kalo aku ngeluh karena ga berani dia tinggal ngomong “ngapain kamu diam-diam disini, mending tuh gabung sama yang lain di luar. Suara kita kan ga kehitung di sini”.  Orangnya agak galak, tapi galak-galak lucu.

Hari kedua di Solo aku sakit. Hal ini dikarenakan semalam aku begadang, tidur jam 2 pagi dan selama itu aku hanya nongkrong bareng mereka berlima di luar gedung. Dinginnya Karanganyar menikam  tulangku, mencabik-cabik seluruh urat-uratku, dari ujung jari tangan sampai ujung jari kaki kurasa membeku. bahkan ketika tidurpun aku memakai 2 kaus berlengan panjang ditambah jaket, 2 celana training ditambah kaus kaki namun tetap saja kedinginan. Ku lirik jam di layar handphone menunjukkan pukul 03.39 dengan suhu 15 derajat celcius. Salah seorang teman terbangun sambil mencari sesuatu, saat mata kami saling tatap dia bilang  “Ga panas mbak bajunya tebal gitu, saya aja gerah” sambil mengipas-ngipas telapak tangannya ke arah leher. Aku tak dapat berkata hanya bisa bengong dan membayangkan seberapa tebal kulitnya sampai aku sudah hampir mati kedinginan dan dia malah kegerahan.

Paginya saat matahari mulai menampakkan dirinya aku bersiap-siap untuk berolahraga serta berjemur. Ekspektasiku hanyalah ekspektasi. Matahari yang ku harapkan tak sepanas yang kubayangkan. Matahari jam 12 di Karanganyar adalah matahari jam 7 di Gorontalo. Aku berusaha olahraga lari dan loncat untuk bisa mengeluarkan keringat hasilnya nihil, keringat yang keluar hanya di dahi saja padahal aku melakukannya kurang lebih sejam tiga puluh menit. Seketika aku rindu Gorontalo yang mataharinya sudah seperti satu orang satu :”). (tida bole tinggal di eropa kita ini am e wkkw)

Soal sakitku pernah disatu malam pukul 1 dini hari aku meminta teman-temanku yang sama-sama dari Gorontalo untuk membuatkan air hangat untuk ku basuh ke tubuhku, dan dengan ikhlas mereka pun membantu padahal rasa kantuk masih menyerang mereka, terima kasih :)
Soal sakit bukan aku saja yang merasakannya, hari pertama Faisal demam, hari kedua dan ketiga aku yang sakit dan hari selanjutnya Guslanlah yang sakit.


Bersambung....
Jogja, tunggu aku!