Review Novel "Waktu untuk Tidak Menikah"

 

Judul : Waktu untuk Tidak Menikah

Penulis : Amanatia Junda

Penerbit : Mojok

Tahun Terbit : 2018

Ketebalan : 178 halaman

ISBN : 978-602-1318-76-8


Kumpulan cerpen Waktu untuk Tidak Menikah karya Amanatia Junda ini terdiri dari 14 cerpen dengan tokoh utama perempuan dari berbagai latar belakang dan usia. Ditulis dalam rentang waktu 2012-2017 dan disusun secara acak dalam daftar isi.


Beberapa cerpen telah dimuat di beberapa media baik media online maupun media cetak. Benang merah dalam cerpen selain bercerita tentang perempuan, lebih banyak mengajak pembaca menyelami isi kepala tokoh-tokoh yang terkadang random dan melantur dengan ingatan mereka mengenai perkara-perkara personal di masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik, atau sesuatu yang tak pernah mereka ungkap di permukaan sebelumnya.


Isu-isu yang menjadi konteks sosial beberapa cerita di sini juga beragam, seperti perkosaan, kebakaran hutan, korupsi, perempuan tua jalanan, relasi sepasang kekasih, sepasang kakek nenek, sepasang teman perempuan, sepasang ibu anak, dll.


--


Waktu Untuk Tidak Menikah adalah sebuah cerita pendek pandangan dari seorang perempuan tentang keputusan untuk tidak menikah pada suatu waktu tertentu dalam hidupnya.


Seiring berjalannya waktu, banyak dari perempuan ditempa oleh ekspektasi sosial, khususnya seputar kehidupan pernikahan. Tetapi, sebagai seorang perempuan, tentu akan menemukan kebebasan dan kebahagiaan dalam memilih waktu yang tepat untuk tidak menikah. Cerita ini adalah suara perempuan yang memilih menjalani hidupnya dengan jalan  berbeda, terlebih setelah ia mendapati kabar dari temannya dan juga mantan kekasihnya yang telah menikah.


Nursri bukan satu-satunya. Di belahan bumi lain, ada yang tersungkur patah hati ditinggal kekasih. Ada yang kehilangan banyak hal dalam waktu yang berdekatan. Ada yang memilih hidup sendirian bersama kedua kucing liar. Ada yang tiba-tiba ingin menghubungi mantan kekasihnya. Ada yang mencintai diam-diam dan berakhir ditolak mentah-mentah. Ada yang tak siap berpisah, sekalipun sudah menabung kesiapan itu. Bahkan ada yang menikah, lalu ingin berpisah. Kadang-kadang, memang selalu ada waktu untuk tidak berkasih. Untuk tidak bercinta, untuk tidak menikah. Lagi pula, kisah cinta yang melulu indah itu kata siapa?


Buku ini memberikan sudut pandang yang berbeda dari yang namanya cinta. Cara pandang mengenai cinta selalu berkaitan dengan bahagia yang selama ini seringkali disamakan dengan alur cerita dalam dongeng atau acara hiburan televisi. Tetapi sebenarnya, kebahagiaan tidak selalu memiliki definisi yang sama untuk setiap orang.


Aku akui dalam menerima pesan dari setiap tulisan dalam buku ini harus konsentrasi, baca dengan kesungguhan dan keterbukaan pikiran. Jujur saja menurutku dengan tidak adanya tanda keberpindahan alur membuatku harus mengulang-ulang bacaan. Di beberapa cerita terdapat tanda pindah alur cerita, namun di beberapa lainnya tidak ada, yang dalam hal ini tentu dapat membuat pembaca agak kebingungan.


Gaya menulisnya memgbingatkanku pada buku-buku terbitan Mojok dan benar saja aku baru ngeh ketika hampir di halaman terakhir, "Ah iya, buku ini terbitan Mojok" hahaha.



"...perempuan itu ibarat mangga. kalau masih muda, kecut puol! tapi, masih enak, kan, dibuat manisan? Atau dirujak? Diolah macam-macam bisa, tinggal ditaburi gula. kalau sudah tua? Pelem kematengannya, ya, nggak enak. Mblenyek. Mblenek. Apalagi bekas dimakan codot, jatuh di jalan, nggak ada yang mau mungut, paling banter digilas sama sepeda motor yang lewat. Awas jadi perawan tua loh, kamu, Sri!" Hal 80.